Hadis Muslim 1847 : Membantah doktrin teroris wahabi jihadi

ULIL AMRI DAN WAJIBNYA TAAT KEPADANYA DALAM KEBAIKAN

Siapa yang dimaksud Ulil Amri?

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?”Beliau menjawab: “Allah  berfirman: (yang artinya) “Dan ulil amri di antara kalian” (Q.S. An Nisâ’ [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati

Di sini beliau menjelaskan bahwa ulil amri itu setiap penguasa muslim secara mutlak baik diangkatnya secara syari’i atau pun tidak sesuai syari’at. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu hanya bila diangkat bila sesuai syariat saja adalah pendapat yang tidak memiliki pendahulu bahkan ia adalah pendapat yang diada adakan. Justru para ulama bersepakat bahwa orang yang menjadi pemimpin karena menang dalam revolusi maka ia wajib ditaati. Al-Hafidz Ibnu Hajar v berkata, “Para fuqaha telah berijma’ akan wajibnya menaati penguasa yang menang (dengan senjata) dan berjihad bersamanya. Dan bahwa menaatinya lebih baik dari memberontak kepadanya. Karena yang demikian itu lebih mencegah terkucurnya darah dan menenangkan kekacauan” (Fathul Baari 13/7).

Padahal memberontak itu tidak sesuai syariat, namun ketika ia menjadi penguasa dengan cara seperti itu, tetap ditaati dan dianggap sebagai ulil amri. Ini menunjukkan bahwa walaupun tata caranya tidak sesuai syariat, maka tetap ditaati sebagai ulil amri. Ini juga ditunjukkan oleh hadits, “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah” (HR. At Tirmidzi)

Dalam pemilihan pemimpin secara syariat, hamba sahaya tak mungkin menjadi pemimpin karena semua ulama menyatakan bahwa syarat pemimpin adalah merdeka dan bukan hamba sahaya. Bila ia menjadi pemimpin pasti dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun Nabi ` tetap menyuruh kita untuk menaatinya. Nabi ` juga mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda, :


عَنْ أَبِى سَلاَّمٍ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ كَيْفَ قَالَ « يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

dari Abu Sallaam, ia berkata : Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)].

Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri. Hadits ini juga membantah orang yang mengkafirkan setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak. Namun bukan berarti kita menyetujui perbuatan mereka. Wallahu a’lam.

Wajib Baiat Kepada Ulil Amri

Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah l berfirman, “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (Q.S. al Fath [48]: 10).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar k, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) v, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah l berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Karena terdapat hadits Nabi ` dari Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau ` bersabda, “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah l oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at. Rasulullah ` bersabda,  “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah ` juga bersabda,  “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zhalim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah l  tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah firman Allah l  berikut, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

Allah l juga berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-An’am [6]: 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman.

Tan Malaka dan Merahnya Sejarah Minangkabau

Jakarta – Mengikuti sepak terjang Ibrahim Datuk Tan Malaka seperti membuka sejarah merahnya Minangkabau. Meski terkenal sebagai negeri yang kuat menganut Islam, siapa nyana justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme yang bercokol kuat.Hal itu diungkapkan dosen FISIP UI Zulhasril Nasir dalam bukunya ‘Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau’ yang dicetak pertama kali Juli 2007 oleh penerbit Ombak, Yogyakarta.Menurut Zulhasril, justru agama Islam-lah yang menjadi basis persemaian ideologi kiri di Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah sekolah di sekolah-sekolah agama.”Munculnya gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padangpanjang (Sumatera Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College) dan Bukittinggi (Sumatera Thawalib Parabek),” ujar Zulhasril di halaman 63-64 bukunya.’Koalisi’ Islam dan sosialisme/komunisme itu disokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Di sinilah peran Tan Malaka sebagai seorang tokoh kiri yang menghubungkan kedua arus itu.Faktor lain adalah sistem pendidikan di Minangkabau merupakan yang termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa. Pada tahun 1920-an itu, telah muncul puluhan intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung, tapi menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja.Zulhasril kemudian membagi puluhan aktivis pergerakan kemerdekaan tersebut dalam 5 tipe ideologi. Pertama, Islam-komunis. “Mereka berasas pada ajaran Tan Malaka yang menghubungkan ajaran tentang kesamaan dan kebersamaan manusia dalam Islam dan komunis,” ungkap Zulhasril yang meraih gelar doktor di Universiti Sains Malaysia tahun 2004 lalu itu.Masuk dalam kelompok pertama ini adalah pemimpin PKI Sumbar tahun 1948 Haji Datuak Batuah dan mantan Ketua Umum Partai Murba Djamaluddin Tamin.Kelompok kedua berideologi Islam-nasionalis. Kelompok ini diwakili organisasi Permi, PSII, Muhammadiyah dan Masyumi. Tokoh-tokohnya, M Sjafei, AR Sutan Mansyur, Rasuna Said dan ayahanda Hamka, Haji Rasul.Tipe ketiga adalah Sosialis Demokrat. Walau hanya sedikit, tapi menonjol. Mereka mengikuti kepemimpinan Sjahrir dan Hatta di Batavia, seperti M Rasjid.Tipe keempat adalah nasionalis-kiri. Tipe ini baru bermunculan setelah kegagalan pemberontakan 1926 di Silungkang. Mereka masuk dalam Gyu Gun (militer Jepang). Tokoh-tokohnya adalah Chatib Sulaiman, Dahlan Djambek, dan Ahmad Husein.Tipe terakhir adalah komunis. “Kalangan ini berasal dari gerakan kiri Tan Malaka yang kemudian dipengaruhi Marxisme-Leninisme,” kata Zulhasril.Masuk ke dalam tipe ini adalah Ketua PKI Sumatera Timur Natar Zainuddin dan pimpinan PKI Sumbar Bachtaruddin.5 Kelompok yang dibuat Zulhasril ini hanya mengelompokkan orang yang beraktivitas di Minangkabau saja. Jika dimasukkan yang beraktivitas di tingkat nasional dan luar negeri, masuklah beberapa nama terkenal.Mereka adalah Nazir Sutan Pamoentjak, Hamka, DN Aidit, Hatta, M Yamin, Sjahrir, M Natsir, Agus Salim, Abdul Muis, Asaat, A Rivai dan Tan Malaka sendiri. DN Aidit termasuk. karena meski dilahirkan di Belitung, orang tuanya dari Maninjau, Sumatera Barat.”Tokoh pergerakan yang paling dekat dengan Tan Malaka hanyalah Muhammad Yamin,” ungkap Zulhasril.Sementara, meski sama-sama Minang dan mendalami sosialisme/komunisme, Tan Malaka dan Sjahrir memiliki hubungan yang buruk. Mereka berseteru kencang pasca Indonesia merdeka.Keduanya saling culik. Tan Malaka mengerahkan Persatuan Perjuangan yang memiliki simpatisan dari kalangan militer termasuk Jenderal Sudirman. Sementara Sjahrir memiliki Pesindo dan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang patuh padanya selaku Perdana Menteri.Perseteruan ini mencapai puncaknya pasca perjanjian Linggarjati 1947. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan mengerahkan gerilya bersenjata menentang perjanjian Indonesia-Belanda itu.Tan Malaka dikejar-kejar oleh pasukan Sjahrir. Sampai pada suatu waktu, di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur, Tan Malaka ditembak mati oleh satu pasukan di bawah divisi Brawijaya. Tan Malaka pun lenyap sejak 21 Februari 1949.

https://news.detik.com/berita/d-817707/tan-malaka-dan-merahnya-sejarah-minangkabau

Sumatra Barat negeri asal DN aidit ( ketua PKI) dan Tan malaka ( bapak komunisme indonesia)

Biografi D.N. Aidit (gembong PKI)

Kehidupan awal
Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit (keturunan arab yaman), ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, “Nurul Islam”, yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.[2].
Aidit /aidid adalah marga habib dari yaman (basis komunis arab).

BERDIRINYA PKI (SEMPALAN SYAREKAT ISLAM SEMARANG)

Sarekat Islam, Semarang, socialism Sarekat Islam Semarang merupakan organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat Islam Semarang dalam pergerakannya menjadi radikal. Sarekat Islam Semarang didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun 1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Sarekat Islam Semarang mengalami perpecahan yang disebabkan oleh: (a) Pembentukan Volksraad dan Indie Weerbaar yang menimbulkan pro dan kontra antar anggota Sarekat Islam, (b) Paham Sosialisme-Revolusioner yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet yang disebarkan melalui ISDV dan VSTP dengan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam. Dalam kongres tahun 1917, secara resmi Sarekat Islam Semarang menyatakan bahwa asas partai pecah menjadi 2, yaitu (a) asas Sosialis-revolusioner dibawah Semaoen dan (b) Asas perjuangan berdasarkan agama Islam dibawah Cokroaminoto.

Referensi:
https://www.researchgate.net/publication/307807706_MUNCUL_DAN_PECAHNYA_SAREKAT_ISLAM_DI_SEMARANG_1913-1920

Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah
Satuan Khusus Intelijen menggelar operasi bersandi Onta untuk mencegah masuknya komunisme dari Timur Tengah.
Oleh Hendri F. Isnaeni | 02 Jan 2017
header img
camera Tiga pemimpin NLF (National Liberation Front): Salim Rubai Ali (Presiden Yaman Selatan), Abdul Fattah Ismail, dan Ali al-Nasir Muhammad al-Hasani. Foto: biyokulule.com.

Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini.

Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme.

Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta.

“Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.

Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing.
LIHAT JUGA:

Fenomena Buzzer dari Masa ke Masa – Dialog Sejarah | HISTORIA.ID

“Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh.

Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman.

Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam.

“Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”

TAG

Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah
SATUAN KHUSUS INTELIJEN MENGGELAR OPERASI BERSANDI ONTA UNTUK MENCEGAH MASUKNYA KOMUNISME DARI TIMUR TENGAH.
https://historia.id/militer/articles/operasi-onta-mencegah-masuknya-komunisme-dari-timur-tengah-DrBdw

Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah Satuan Khusus Intelijen menggelar operasi bersandi Onta untuk mencegah masuknya komunisme dari Timur Tengah.

Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah
Satuan Khusus Intelijen menggelar operasi bersandi Onta untuk mencegah masuknya komunisme dari Timur Tengah.
Oleh Hendri F. Isnaeni | 02 Jan 2017
header img
camera Tiga pemimpin NLF (National Liberation Front): Salim Rubai Ali (Presiden Yaman Selatan), Abdul Fattah Ismail, dan Ali al-Nasir Muhammad al-Hasani. Foto: biyokulule.com.

Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini.

Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme.

Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta.

“Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.

Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing.
LIHAT JUGA:

Fenomena Buzzer dari Masa ke Masa – Dialog Sejarah | HISTORIA.ID

“Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh.

Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman.

Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam.

“Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”

Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah
SATUAN KHUSUS INTELIJEN MENGGELAR OPERASI BERSANDI ONTA UNTUK MENCEGAH MASUKNYA KOMUNISME DARI TIMUR TENGAH.
https://historia.id/militer/articles/operasi-onta-mencegah-masuknya-komunisme-dari-timur-tengah-DrBdw

TAG

Biografi D.N. Aidit (gembong PKI)

Kehidupan awal
Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit (keturunan arab yaman), ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, “Nurul Islam”, yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.[2].
Aidit /aidid adalah marga habib dari yaman (basis komunis arab).

BERDIRINYA PKI (SEMPALAN SYAREKAT ISLAM SEMARANG)

Sarekat Islam, Semarang, socialism Sarekat Islam Semarang merupakan organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat Islam Semarang dalam pergerakannya menjadi radikal. Sarekat Islam Semarang didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun 1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Sarekat Islam Semarang mengalami perpecahan yang disebabkan oleh: (a) Pembentukan Volksraad dan Indie Weerbaar yang menimbulkan pro dan kontra antar anggota Sarekat Islam, (b) Paham Sosialisme-Revolusioner yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet yang disebarkan melalui ISDV dan VSTP dengan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam. Dalam kongres tahun 1917, secara resmi Sarekat Islam Semarang menyatakan bahwa asas partai pecah menjadi 2, yaitu (a) asas Sosialis-revolusioner dibawah Semaoen dan (b) Asas perjuangan berdasarkan agama Islam dibawah Cokroaminoto.

Referensi:
https://www.researchgate.net/publication/307807706_MUNCUL_DAN_PECAHNYA_SAREKAT_ISLAM_DI_SEMARANG_1913-1920

Kalender saka / jawa terlengkap di dunia (Perhitungan matahari + bulan + musim dalam 1 kalender)

Kalender jawa terlengkap di dunia:

  1. chandra sengkala (perhitungan sistem bulan/qomariyah)
  2. Surya sengkala (perhitungan sistem matahari/syamsiyah)
  3. Pranata mangsa (perhitungan musim)

ketiga itu terkumpul dalam 1 kalender

yg mempunyai akurasi (bisa dipakai) tidak meleset sampai 99000 tahun

sedangkan tahun masehi hanya bisa dipakai sampai tahun 2300 saja, setelah itu akan melenceng semua hitungannya

tahun 1 saka/jawa = 79 masehi

dsb

Hadis hadis tentang sunnah nya memlihara kucing dan kucing tidak najis Dan kisah sahabat Abu hurairah (bapaknya anak kucing ) Dan Aisyah Rha. memakan bubur yg pinggirnya dijilat kucing dan Nabi wudhu air yang dijilat kucing dan jubah nabi di sobek karena kucing tidur diatasnya

Berita Gaya Hidup(harapanrakyat.com),- Kucing merupakan hewan kesayangan Rasulullah SAW. Dari sekian banyak jenis hewan yang bisa dipelihara, diketahui Nabi Muhammad lebih memilih memelihara kucing.

Sebagai umat muslim, pastinya kita sudah sangat familiar dengan kisah tersebut. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa, siapapun yang berani menyiksa hewan mamalia ini, sejatinya bakal diganjar hukuman kejam di akhirat nanti.

Dari sahabat Nabi Muhammad, Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita dimasukkan ke dalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberinya makan, bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada di lantai. (HR. Bukhari).”

Seperti dirangkum dari berbagai sumber, Sabtu (06/10/2018), saking sayangnya pada kucing, Rasulullah pun berpesan bahwasanya kita sebagai manusia harus menyayangi kucing peliharaan kita, sama seperti sayangnya kepada sanak keluarga.

Dalam sejarahnya disebutkan, hewan kesayangan Rasulullah SAW itu diberi nama Mueeza. Salah satu kebiasaan Mueeza yang sangat disukai oleh Nabi yaitu selalu mengeong setiap kali mendengar lantunan suara adzan.

Disebutkan lebih lanjut, bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan kalau kucing tidaklah najis sehingga tidak menyulitkan bagi manusia. Karena, otot pada bagian kulit kucing selain untuk menyesuaikan sentuhan manusia, juga untuk menangkal telur bakteri.

Lidah kucing pun berguna untuk membersihkan bulunya sendiri. Bila Anda melihat kucing menjilati badannya dengan lidahnya, itu tandanya kucing tersebut sedang membersihkan dirinya sendiri dari kotoran atau kuman.

Tidak seperti anjing, jika kita terkena air liurnya saja itu berarti kita terkena najis berat, sehingga harus segera dibersihkan dengan air atau tanah sebanyak 7 kali.

Dijelaskan pula pada bagian punggung kucing, bagian dalam telapak kaki, pelindung mulut, serta ekornya, juga tidak terdapat kuman. Bahkan, hal tersebut dilakukan terhadap kucing dari berbagai perbedaan usia maupun kondisi kulit, dan ini sudah dibuktikan melalui banyak penelitian.

Begitu pula dengan cairan sampel yang diambil dari bagian permukaan lidah kucing. Bahkan, Rasulullah SAW bersabda, “Ia tidak najis. Ia binatang yang berkeliling.”

Diriwayatkan juga dalam hadist (H.R AlBaihaqi, Abd Al-Razzaq, dan Al-Daruquthni), bahwa istri Nabi, yakni Aisyah, pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu dari sisa jilatan kucing.

Allah SWT menciptakan kucing sebagai hewan yang begitu bersih, tidak najis sehingga tidak menyusahkan manusia, bahkan kucing diberi kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri.

Itulah salah satunya yang membuat Rasulullah SAW begitu menyayangi dan menempatkan kucing di posisi istimewa. (Eva/R3/HR-Online)

KISAH SAHABAT ABU HURAIRAH

Abu Hurairah bukanlah nama, namun julukan yang diberikan Rasulullah kepada Abdurrahman.

Dream – Nama Abu Hurairah RA cukup tersohor dalam kajian ilmu hadis. Sabahat Rasulullah Muhammad SAW ini memang dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak di antara para sahabat-sahabat lainnya.

Abu Hurairah merupakan sosok yang sangat rajin ibadah. Dia adalah sahabat yang sering mengikuti aktivitas Nabi SAW, sehingga banyak merekam hadis, baik seputar perkataan, perbuatan, bahkan sikap Rasulullah.

Nama asli Abu Hurairah adalah Abdu Syam bin Shakhr. Dia memeluk Islam ketika Rasulullah tinggal di Madinah, di masa antara perjanjian Hudaibiyah dengan perang Khaibar.

Ada peristiwa istimewa ketika Abu Hurairah memeluk Islam. Ketika itu, Rasulullah bertanya dari mana asal Abu Hurairah.

” Dari mana, engkau?” tanya Rasulullah.

” Dari Daus,” jawab Abu Hurairah yang kala itu masih bernama Abdu Syam.

Rasulullah kemudian meletakkan tangannya di pelipis Abu Hurairah, lalu mengibasnya.

” Aku belum pernah melihat orang Daus yang penuh kebaikan (sepertimu),” kata Rasulullah.

Ketika masuk Islam, Abu Hurairah berganti nama menjadi Abdurrahman. Nama itu merupakan pemberian Rasulullah SAW untuk mengganti nama sebelumnya, Abdu Syam, yang dinilai bermakna buruk.

Sedangkan nama Abu Hurairah sebenarnya merupakan julukan dari Rasulullah SAW. Ada peristiwa menarik yang membuat Abdurrahman mendapat julukan itu.

Suatu hari, ketika dia menggembala kambing, Abdurrahman menemukan seekor anak kucing. Dia pungut anak kucing itu dan merawatnya.

Setiap malam, Abdurrahman meletakkan anak kucing itu di batang pohon. Pada siang hari, dia menaruh anak kucing itu di lengan bajunya dan bermain dengan hewan lucu tersebut.

Suatu ketika, anak kucing itu mengeong sampai terdengar oleh Rasulullah SAW. Sang Nabi lalu bertanya kepada Abdurrahman.

” Apa itu?” kata Rasulullah.

” Anak kucing yang aku temukan, ya Rasulullah,” jawab Abdurrahman.

” Baiklah, maka engkau adalah Abu Hurairah (bapak kucing kecil),” kata Rasulullah, dan sejak saat itu dia dipanggil Abu Hurairah.

KISAH AISYAH RA. MEMAKAN BUBUR YANG DI JILAT KUCING

Zaman dahulu kucing dipakai untuk terapi. Dengkuran kucing yang 50Hz baik buat kesehatan selain itu mengelus kucing juga bisa menurunkan tingkat stress.

Sisa makanan kucing hukumnya suci.

Hadist Kabsyah binti Ka’b bin Malik menceritakan bahwa Abu Qatadah, mertua Kabsyah, masuk ke rumahnya lalu ia menuangkan air untuk wudhu. Pada saat itu, datang seekor kucing yang ingin minum. Lantas ia menuangkan air di bejana sampai kucing itu minum.

Kabsyah berkata, “Perhatikanlah.” Abu Qatadah berkata, “Apakah kamu heran?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu, Abu Qatadah berkata bahwa Nabi SAW prnh bersabda, “Kucing itu tidak najis. Ia binatang yang suka berkeliling di rumah (binatang rumahan),” (H.R At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Diriwayatkan dan Ali bin Al-Hasan, dan Anas yang menceritakan bahwa Nabi Saw pergi ke Bathhan suatu daerah di Madinah. Lalu, beliau berkata,

“Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke dalam bejana.” Lalu, Anas menuangkan air. Ketika sudah selesai, Nabi menuju bejana. Namun, seekor kucing datang dan menjilati bejana. Melihat itu, Nabi berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum lalu berwudhu.

Nabi ditanya mengenai kejadian tersebut, beliau menjawab, “Ya Anas, kucing termasuk perhiasan rumah tangga, ia tidak dikotori sesuatu, bahkan tidak ada najis.”

Diriwayatkan dari Dawud bin Shalih At-Tammar dan ibunya yang menerangkan bahwa budaknya memberikan Aisyah semangkuk bubur. Namun, ketika ia sampai di rumah Aisyah, tenyata Aisyah sedang shalat. Lalu, ia memberikan isyarat untuk menaruhnya. Sayangnya, setelah Aisyah menyelesaikan shalat, ia lupa ada bubur.

Datanglah seekor kucing, lalu memakan sedikit bubur tersebut. Ketika ia melihat bubur tersebut dimakan kucing, Aisyah lalu membersihkan bagian yang disentuh kucing, dan Aisyah memakannya.

Rasulullah Saw bersabda, “Ia tidak najis. Ia binatang yang berkeliling.” Aisyah pernah melihat Rasulullah Saw berwudhu dari sisa jilatan kucing.” (H.R AlBaihaqi, Abd Al-Razzaq, dan Al-Daruquthni).

Hadis ini diriwayatkan Malik, Ahmad, dan imam hadits yang lain. Oleh karena itu, kucing adalah binatang, yang badan, keringat, bekas dari sisa makanannya adalah suci, Liurnya bersih dan membersihkan, serta hidupnya lebih bersih daripada manusia. Mungkin ini pula-lah mengapa Rasulullah SAW sangat sayang kepada Muezza, Kucing kesayangannya. (Islampos.com)

tribunnews



Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Inilah Alasannya Mengapa Nabi Muhammad Menyayangi Kucing, https://kaltim.tribunnews.com/2015/12/13/inilah-alasannya-mengapa-nabi-muhammad-menyayangi-kucing?page=4.

Fakta Ilmiah 1 :

Pada kulit kucing terdapat otot yang berfungsi untuk menolak telur bakteri. Otot kucing itu juga dapat menyesuaikan dengan sentuhan otot manusia.

Permukaan lidah kucing tertutupi oleh berbagai benjolan kecil yang runcing, benjolan ini bengkok mengerucut seperti kikir atau gergaji. Bentuk ini sangat berguna untuk membersihkan kulit. Ketika kucing minum, tidak ada setetes pun cairan yang jatuh dari lidahnya.

Sedangkan lidah kucing sendiri merupakan alat pembersih yang paling canggih, permukaannya yang kasar bisa membuang bulu-bulu mati dan membersihkan bulu-bulu yang tersisa di badannya.

Fakta Ilmiah 2 :

Telah dilakukan berbagai penelitian terhadap kucing dan berbagai perbedaan usia, perbedaan posisi kulit, punggung, bagian dalam telapak kaki, pelindung mulut, dan ekor.

Pada bagian-bagian tersebut dilakukan pengambilan sample dengan usapan. Di samping itu, dilakukan juga penanaman kuman pada bagian-bagian khusus. Terus diambil juga cairan khusus yang ada pada dinding dalam mulut dan lidahnya.

Hasil yang didapatkan adalah:

1. Hasil yang diambil dari kulit luar tenyata negatif berkuman, meskipun dilakukan berulang-ulang.

2. Perbandingan yang ditanamkan kuman memberikan hasil negatif sekitar 80% jika dilihat dari cairan yang diambil dari dinding mulut.



Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Inilah Alasannya Mengapa Nabi Muhammad Menyayangi Kucing, https://kaltim.tribunnews.com/2015/12/13/inilah-alasannya-mengapa-nabi-muhammad-menyayangi-kucing?page=2.

Editor: Kholish Chered

10 masjid tertua di indonesia dan 7 kerajaan islam tertua di indonesia

Kisah Nabi sakit mata parah ketika di asuh kakeknya (abdul muthalib), berdahak dan bersin

Tanda2 sebelum nabi muhammad diangkat jadi nabi (irhasat)…

Note: …klo sesudah diangkat jadi nabi (mukjizat)

  1. Nabi sakit mata parah ketika diasuh kakeknya

Imam Al-Hafidz Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi menegaskan dalam Kitab Al Wafa bi Ahwaali Al-Mushtofa hal 97-98

قال الحافظ أبو الفرج ابن الجوزي في « الوفا باحوال المصطفى ﷺ ص ٩٧-٩٨»
في سنة سبع من مولده صلى الله عليه وسلم أصابه رمد شديد فعولج بمكة، فلم يُغْن فقيل لعبد المطلب : إن في ناحية عكاظ راهباً يعالج الأعين، فركب إليه فناداه وديره مغلق فلم يجبه، فتزلزل ديره حتى كاد أن يسقط عليه.
فخرج مبادرًا فقال: يا عبد المطلب، إن هذا الغلام نبي هذه الأمة ولو لم أخرج إليك لخر علي ديرى، فارجع به واحفظه، لا يقتله بعض أهل الكتاب. ثم عالجه وأعطاه ما يعالج به. وألقي الله له المحبة في قلوب قومه وكل من يراه.

Pada tahun ketujuh kelahiran Nabi Muhammad, beliau tertimpa penyaklt mata yang parah dan diobati di Makkah, namun tidak sembuh. Ada yang mengatakan kepada Abdul Muthalib bahwa di ujung pasar Ukazh ada seorang pendeta yang dapat mengobati penyakit. la berangkat menemui pendeta itu. Namun biaranya tertutup dan pendeta itu tidak menerimanya, sehingga biara itu tergoncang. Pendeta itu khawatir kalau biaranya ambruk menimpanya. Maka ia segera keluar, dan berkata, “Wahai Abdul Muthalib, sesungguhnya anak ini adalah Nabi umat ini. Jika aku tidak keluar menemuimu, maka biaraku ini akan ambruk menimpaku. Bawalah ia dan jagalah dirinya dari sebagian Ahli kitab yang ingin membunuhnya secara diam-diam”. Pendeta itu mengobati dan memberi obat kepada beliau. Allah menaruh rasa cinta untuk beliau ke hati-hati kaum beliau serta orang yang melihat beliau.

Riwayat ini juga bisa kita temukan dalam kitab
١.المنهل العذب المورود شرح سنن أبي داود ج ٩/ ص ١٩٨
٢.سبل الهدى و الرشاد ج ٢/ ص ٢

Juga terdapat pada kitab sirah ” Nurilabshar”

Riwayat kisah seperti ini atau yang semisal dengannya sama sekali tidak mengurangi kemuliaan Rasulullah Muhammad ﷺ. Sebaliknya, justru menegaskan sifat Jaiz seorang Rasul bahwa beliau memiliki sifat manusiawi (اعراض البشرية). Hal ini tak lain adalah sifat kemanusiaan yang melekat pada pribadi Rasul. Sebagai manusia biasa, Rasulullah ﷺ makan, minum, tidur, sakit dan lain sebagainya. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah lupa, bercanda, menangis sebagaimana umumnya manusia.

Hikmah terbesar Allah menjadikan hal seperti ini, kita sebagai umatnya akan sungguh-sungguh memuliakan Rasulullah ﷺ tapi tidak akan pernah menganggap beliau sebagai Tuhan. Sebab, dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kemanusiaan. Di sisi lain Rasulullah ﷺ sebagai uswatun hasanah, maka dengan ada sifat-sifat kemanusiaan seperti itu akan memudahkan umat untuk mengikuti jejak langkahnya.

Wallahu a’lam bish Showab.

2. hadis nabi ketika dahak

konsep-dan-dalil-tabarruk-10-638

Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa air ludah hukumnya adalah suci, begitu juga dengan air dahak. Salah satu dalil yang dijadikan dasar oleh mereka adalah riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari berikut;

وما تنخم النبي صلى الله عليه وسلم نخامة إلا وقعت في كف رجل منهم فدلك بها وجهه وجلده

“Dan Nabi Saw tidak berdahak kecuali dahak tersebut jatuh pada tangan seseorang dari sahabat. Kemudian dia menggosok-gosokkan dahak tersebut ke mukanya dan kulitnya.”

Riwayat ini berisi penjelasan bahwa ketika Nabi Saw berdahak, maka dahak tersebut tidak jatuh ke tanah, melainkan ditengadah oleh sebagian sahabat dan digosokkan pada wajah dan mukanya. Ini menunjukkan bahwa dahak tidak najis. Karena andaikan najis, pasti Nabi Saw melarang perbuatan sahabat tersebut.

2. Hadis nabi bersin

Bersin Rasulullah dan Bersin Manusia Awam
Bersin Rasulullah dan Bersin Manusia Awam
عن أبي هريرة رضي الله عنه: كَانَ إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيْهِ وَخَفَضَ بِهَا صَوْتَهُ -الترمذي
Artinya: Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-,”Bahwasannya Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam jika bersin beliau meletakkan tangannya atau pakaiannya di atas mulutnya, dan dengannya beliau memelankan suara (bersin)” (Riwayat At Tirmidzi, beliau menyatakan,”hadits hasan shahih”)

Dari hadits di atas, Al Munawi menyimpulkan bahwa Rasulullah menahan suara bersin dengan menutup mulut dengan tangan atau baju, dalam riwayat lain menutup wajah. Rasulullah juga tidak berteriak ketika bersin sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan manusia awam.

2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: 2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  1. 1.Anda Sedang Membaca: 2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  2. 2.2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

(فَضْلٌ) وَ مَعَ أَنَا نَقُوْلُ أَنَّ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ وَ أَنَّ النَّظَرَ الْمُوْصِلُ إِلَيْهَا وَاجِبٌ، فَإِنَّ بَعْضَ أَصْحَابِنَا يَقُوْلُ أَنَّ مَنِ اعْتَقَدَ فِيْ رَبِّهِ تَعَالَى الْحَقَّ وَ تَعَلَّقَ بِهِ اعْتِقَادُهُ عَلَى الْوَجْهِ الصَّحِيْحِ فِيْ صِفَاتِهِ فَإِنَّهُ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ. وَ لكِنْ هذَا لَا حَصَلَ لِغَيْرِ نَاظِرٍ لَمْ نَأْمَنْ أَنْ يَتَخَلْخَلَ اعْتِقَادُهُ.

(Pasal): Cukupnya Taqlīd untuk Meyakini Allah.

Di saat aku berpendapat bahwa ma‘rifat dan pemikiran yang mengantarkan padanya wajib, sebagian Ashḥāb kita (ulama Asy‘ariyah) berpendapat, bahwa orang yang meyakini kebenaran tentang Allah ta‘ālā dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Allah bergantung padanya dengan cara yang benar, maka ia adalah seorang mu’min muwaḥḥid.Namun hal ini pada umumnya hanya diperoleh oleh orang yang melakukan pemikiran. Andaikan hal itu diperoleh selain orang yang melakukan pemikiran, keyakinannya tidak aman dari kegoncangan.

فَلَا بُدَّ عِنْدَنَا أَنْ يَعْلَمَ كُلَّ مَسْأَلَةٍ مِنْ مَسَائِلِ الْاِعْتِقَادِ بِدَلِيْلٍ وَاحِدٍ، وَ لَا يَنْفَعُهُ اعْتِقَادُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ. فَلَوِ اخْتُرِمَ وَ قَدْ تَعَلَّقَ اعْتِقَادُهُ بِالْبَارِيْ تَعَالَى كَمَا يَنْبَغِيْ وَ عَجَزَ عَنِ النَّظَرِ فَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ إِنَّهُ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا، وَ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ النَّظَرِ وَ لَمْ يَنْظُرْ. قَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ إِسْحَاقٍ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا عَاصِيًا بِتَرْكِ النَّظَرِ، وَ بَنَاهُ عَلَى أَصْلِ الشَّيْخِ أَبِيْ الْحَسَنِ.

Maka menurutku, orang harus mengetahui setiap permasalahan akidah dengan dalilnya. Keyakinan tidak akan bermanfaat baginya kecuali bila keyakinannya muncul dari suatu dalil. Bila orang mati dalam kondisi keyakinannya terhadap Allah ta‘ālā Yang Maha Selamat sebagaimana mestinya dan tidak mampu melakukan pemikiran, maka sebagian ulama Asy‘ariyah berpendapat, bahwa orang tersebut adalah mu’min; bila ia mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurut al-Ustādz Abū Isḥāq (261) ia mu’min yang maksiat sebab tidak melakukan penalaran – yang mana pendapat ini dibangunnya pada ajaran Syaikh Abū Ḥasan al-Asy‘arī – , (272).

وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْعَجْزِ وَ الْاِخْتِرَامِ فَظَاهِرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى، وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّظَرِ وَ تَرْكِهِ فَقَوْلُهُ فِيْهِ نَظَرٌ عِنْدِيْ، وَ لَا أَعْلَمُ صِحَّتَهُ الْآنَ.

Adapun pernyataan Abū Isḥāq, bahwa orang tersebut mu’min bila tidak mampu melakukan penalaran dan mati, maka jelas benarnya, in syā’ Allāh; sedangkan pernyataan bahwa ia mu’min besertaan mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurutku dalam hal ini perlu pemikiran lebih lanjut, dan sekarang aku tidak meyakini kebenarannya.

فَإِنْ قِيْلَ: قَدْ أَوْجَبْتُمُ النَّظَرَ قَبْلَ الْإِيْمَانِ عَلَى مَا اسْتَقَرَّ مِنْ كَلَامِكُمْ فَإِذَا دُعِيَ الْمُكَلَّفُ إِلَى الْمَعْرِفَةِ فَقَالَ: حَتَّى أَنْظُرَ فَأَنَّا الْآنَ فِيْ مَهْلَةِ النَّظَرِ وَ تَحْتَ تِرْدَادِهِ، مَاذَا تَقُوْلُوْنَ؟ أَتَلْزَمُوْنَهُ الْإِقْرَارَ بِالْإِيْمَانِ فَتَنْقُضُوْنَ أَصْلَكُمْ فِيْ أَنَّ النَّظَرَ يَجِبُ قَبْلَهَا، أَمْ تُمْهِلُوْنَهُ فِيْ نَظَرِهِ إِلَى حَدٍّ يَتَطَاوَلُ بِهِ الْمُدَّى فِيْهِ، أَمْ تَقْدُرُوْنَهُ بِمِقْدَارٍ فَتَحْكُمُوْنَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ نَصٍّ؟

Bila disangkal: “Anda telah mewajibkan pemikiran sebelum keimanan sesuai makna ucapan anda, lalu bila seorang mukallaf disuruh untuk ma‘rifat (beriman) dan menjawab: “(Nanti dulu), sampai saya melakukan pemikiran, sebab sungguh sekarang saya masih dalam masa pemikiran yang lama dan sedang mengulang-ulangnya”, maka apa pendapat anda? Apakah anda akan mewajibkannya untuk mengikrarkan keimanan, sehingga anda merusak prinsip anda sendiri yang mewajibkan pemikiran sebelumnya, atau membiarkannya melakukan penalaran sampai waktu yang tidak diketahui batasnya, atau anda tentukan batas waktunya sehingga anda menghukumnya tanpa nash?

فَالْجَوَابُ أَنَّا نَقُوْلُ أَمَّا الْقَوْلُ بِوُجُوْبِ الْإِيْمَانِ قَبْلَ الْمَعْرِفَةِ فَضَعِيْفٌ، لِأَنَّ إِلْزَامَ التَّصْدِيْقِ بِمَا لَا تُعْلَمُ صِحَّتَهُ يُؤَدِّيْ إِلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ النَّبِيِّ وَ الْمُتَنَبِّيْ، وَ أَنَّهُ يُؤْمِنُ أَوَّلًا فَيَنْظرُ فَيَتَبَيَّنُ لَهُ الْحَقُّ فَيَتَمَادَى، أَوْ يَتَبَيَّنُ لَهُ الْبَاطِلُ فَيَرْجِعُ وَ قَدِ اعْتَقَدَ الْكُفْرَ.

Maka jawabannya adalah, aku katakan: “Ada pun pendapat yang mewajibkan iman sebelum ma‘rifat (mengenal Allah) maka lemah, sebab mewajibkan pembenaran dengan suatu nisbat yang belum diyakini keabsahannya akan mengantarkan pada penyamaan antara Nabi dan orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, pada penetapan awal mulanya ia beriman, lalu melakukan pemikiran, menemukan kebenaran, dan meneruskan keimanannya, atau ia menemukan kebatilan, lalu ia kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu meyakini kekufuran.

وً أَمَّا إِذَا دَعَا الْمَطْلُوْبُ بِالْإِيْمَانِ إِلَى النَّظَرِ فَيُقَالُ لَهُ: إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ النَّظَرَ فَاسْرُدْهُ، وَ إِنْ كُنْتَ لَا تَعْلَمُهُ فَاسْمَعْهُ” وَ يُسْرُدُ فِيْ سَاعَةٍ عَلَيْهِ، فَإِنْ آمَنَ تَحَقَّقَ اسْتِرْشَادُهُ، وَ إِنْ أَبَى تَبَيَّنَ عِنَادُهُ، فَوَجَبَ اسْتِخْرَاجُهُ مِنْهُ بِالسَّيْفِ أَوْ يَمُوْتُ.

Adapun ketika orang yang diperintah beriman tadi meminta melakukan pemikiran (dahulu), maka dikatakan kepadanya (bila tidak hidup bersama-sama umat Islam): “Bila anda mampu melakukan pemikiran (yang benar), maka lakukanlah sekarang juga; bila tidak, maka dengarkanlah, dan alur pemikiran yang benar disampaikan kepadanya dalam waktu secukupnya. (283) Bila beriman, maka ia nyata-nyata telah mendapatkan petunjuk; bila menolaknya, maka ia jelas-jelas telah mengingkarinya, maka pengingkaran itu wajib dikeluarkan darinya dengan ancaman pembunuhan, kecuali ia mati tanpa dibunuh.”

وَ إِنْ كَانَ مِمَّنْ ثَاقَنَ أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ عَلِمَ طَرِيْقَ الْإِيْمَانِ لَمْ يُمْهَلْ سَاعَةً، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُرْتَدَ اسْتَحَبَّ فِيْهِ الْعُلَمَاءُ الْإِمْهَالَ لَعَلَّهُ إِنَّمَا ارْتَدَّ لِرَيْبٍ فَيُتَرَبَّصُ بِهِ مُدَّةً لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ الشَّكَّ بِالْيَقِيْنِ وَ الْجَهْلُ بِالْعِلْمِ، وَ لَا يَجِبُ ذلِكَ لِحُصُوْلِ الْعِلْمِ بِالنَّظَرِ الصَّحِيْحِ أَوَّلًا.

Bila ia termasuk orang yang hidup bersama umat Islam dan mengetahui cara beriman, maka ia tidak diberi waktu sedikitpun untuk menunda keimanannya. Tidakkah anda tahu, bahwa ulama mensunnahkan memberi kesempatan kepadanya, mungkin ia murtad karena keraguan, lalu ditunggu sebentar mungkin ia dapat mengganti keraguannya dengan keyakinan, dan mengganti kebodohannya dengan ilmu; dan pemberian kesempatan pada orang murtad tersebut tidak wajib karena keyakinan dapat dihasilkan dengan pemikiran yang benar di permulaannya.

وَ كَيْفَ يَصِحُّ لِنَاظِرٍ أَنْ يَقُوْلَ إِنَّ الْإِيْمَانَ يَجِبُ أَوَّلًا قَبْلَ النَّظَرِ وَ لَا يَصِحُّ فِي الْمَعْقُوْلِ إِيْمَانٌ بِغَيْرِ مَعْلُوْمٍ، وَ ذلِكَ الَّذِيْ يَجِدُهُ الْمَرْءُ حُسْنَ ظَنٍّ فِيْ نَفْسِهِ بِمُخْبِرِهِ، إِلَّا فَإِنْ تَطَرَّقَ إِلَيْهِ التَّجْوِيْزُ أَوِ التَّكْذِيْبُ تَطَرَّقَ.

Bagaimana benar menurut seorang pemikir, pendapat yang menyatakan bahwa wajib iman dahulu sebelum pemikiran? Sebab, menurut akal tidak sah iman tanpa kebenaran yang diketahui. Keimanan yang ditemukannya terjadi karena husn-uzh-zhann dirinya kepada orang yang memberitakan keimanan kepadanya, bila tidak demikian, maka bila keraguan atau anggapan bohong mendatanginya, hal itu akan menggantikan kemantapan imannya.

وَ أَيْضًا فَإِنَّ النَّبِيَّ (ص) دَعَا الْخَلْقَ إِلَى النَّظَرِ أَوَّلًا، فَلَمَّا قَامَتِ الْحُجَّةُ بِهِ وَ بَلَغَ غَايَةَ الْإِعْذَارِ فِيْهِ حَمَلَهُمْ عَلَى الْإِيْمَانِ بِالسَّيْفِ، أَلَا تَرَى أَنَّ كُلَّ مَنْ دَعَاهُ إِلَى الْإِيْمَانِ قَالَ لَهُ: “اِعْرِضْ عَلَيَّ آيَتَكَ”، فَيَعْرِضُهَا عَلَيْهِ فَيَظْهَرُ لَهُ الْحَقُّ فَيُؤْمِنُ فَيَأْمَنُ، أَوْ يُعَانِدُ فَيَهْلِكُ. انتهى.

Selain itu, sungguh Nabi s.a.w. pada masa awal risalahnya mengajak manusia untuk melakukan pemikiran, kemudian setelah hujjah menjadi kuat berdasarkan pemikiran dan beliau mencapai uzur tertinggi untuk melakukannya, maka beliau mengajak mereka beriman dengan ancaman perang. Tidakkah anda lihat, bahwa setiap orang yang diajaknya beriman berkata kepadanya: “Tunjukkan tanda-tanda kenabianmu kepadaku!” Lalu beliau menunjukkannya, maka jelaslah kebenaran bagi orang tersebut, kemudian dia beriman dan mendapatkan keamanan, atau mengingkarinya dan mendapatkan kerusakan.”

هذَا كَلَامُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ، وَ هُوَ حَسَنٌ؛ وَ اسْنُشْكِلَ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْمُقَلِّدِ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ، لِأَنَّهُ يَلْزَمُ عَلَيْهِ تَكْفِيْرُ أَكْثَرِ عَوَامِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَ هُمْ مُعْظِمُ هذِهِ الْأُمَّةِ، وَ ذلِكَ مِمَّا يَقْدَحُ فِيْمَا عُلِمَ أَنَّ سَيِّدَنَا وَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ (ص) أَكْثَرُ الْأَنْبِيَاءِ أَتْبَاعًا، وَ وَرَدَ أَنَّ أُمَّتَهُ الْمُشْرِفَةُ ثُلُثَا أَهْلِ الْجَنَّةِ.

Demikian pernyataan Ibn-ul-‘Arabī yang merupakan pendapat bagus, namun dimuskilkan dengan konsekuensi, bahwa seorang muqallid tidak berstatus mu’min, sebab pendapat tersebut berkonsekuensi mengafirkan mayoritas muslim awam, padahal mereka adalah mayoritas umat-ul-ijābah (294) ini. Hal ini mencemari fakta yang telah diketahui, yaitu sungguh Sayyidunā wa Nabiyyunā Muḥammad s.a.w. adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya, dan telah ada hadits yang menyatakan bahwa umatnya yang mulia merupakan 2/3 penghuni surga. (305).

وَ أُجِيْبُ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِالدّلِيْلِ الَّذِيْ تَجِبُ مَعْرِفَتُهُ عَلَى جَمِيْعِ الْمُكَلَّفِيْنَ هُوَ الدَّلِيْلُ الْجُمْلِيُّ، وَ هُوَ الَّذِيْ يُحَصِّلُ فِي الْجُمْلَةِ لِلْمُكَلَّفِ الْعِلْمَ وَ الطُّمَأْنِيْنَهُ بِعَائِدِ الْإِيْمَانِ، بِحَيْثُ لَا يَقُوْلُ قَلُبُهُ فِيْهَا: “لَا أَدْرِيْ، سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُوْلُوْنَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ.

Kemusykilan itu dapat dijawab dengan jawaban, sungguh yang dimaksud dengan dalil yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf adalah dalil ijmālī (yang bersifat umum), yang pada umumnya menghasilkan keyakinan dan penerimaan hati atas akidah-akidah keimanan bagi mukallaf, sekira hatinya tidak mengatakan: “Aku tidak mengetahui, aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”

وَ لَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ النَّظَرِ عَلَى طَرِيْقِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنْ تَحْرِيْرِ الْأَدِلَّةِ وَ تَرْتِيْبِهَا وَ دَفْعِ الشُّبْهَةِ الْوَارِدَةِ عَلَيْهَا، وَ لَا الْقُدْرَةُ عَلَى التَّعْبِيْرِ عَمَّا حَصَلَ فِي الْقَلْبِ مِنَ الدَّلِيْلِ الْجُمْلِيِّ الَّذِيْ حَصَلَتْ بِهِ الطُّمَأْنِيْنَةُ.

Tidak disyaratkan mengetahui pemikiran sesuai metode mutakallimin, yaitu meneliti dan membenarkan dalil-dalil, menolak syubhat yang datang padanya, dan mengungkapkan dalil ijmālī yang ada di hati yang menghasilkan penerimaan.

وَ لَا شَكَّ أَنَّ النَّظَرَ عَلَى هذَا الْوَجْهِ غَيْرُ بَعِيْدٍ حُصُوْلُهُ لِمَعْظَمِ هذِهِ الْأُمَّةِ أَوْ لِجَمِيْعِهَا فِيْمَا قَبْلَ آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ يَرْفَعُ فِيْهِ الْعِلْمُ النَّافِعُ، وَ يَكْثُرُ فِيْهِ الْجَهْلُ الْمُضِرُّ، وَ لَا يَبْقَى فِيْهِ التَّقْلِيْدُ الْمُطَابِقُ، فَضْلًا عَنِ الْمَعْرِفَةِ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِمَّنْ يُظَنُّ بِهِ الْعِلْمُ، فَضْلًا عَنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْعَامَّةِ، وَ لَعَلَّنَا أَدْرَكْنَا هذَا الزَّمَانَ بِلَا رَيْبٍ، وَ اللهُ الْمُسْتَعَانُ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

Tidak diragukan, bahwa pemikiran sederhana semacam ini tidak sulit diperoleh bagi mayoritas atau semua umat-ul-ijābah ini sebelum akhir zaman yang pada waktu itu ilmu nāfi‘ akan diangkat; banyaknya kebodohan yang membahayakan; tidak ada taqlīd yang benar, apalagi ma‘rifat, pada orang-orang yang disangka mempunyai ilmu, apalagi pada orang-orang awam. Mungkin tanpa diragukan, kita menjumpai zaman ini. Allah Dzat Yang Maha diminta Pertolongan. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.

وَ فِي الْحَدِيْثِ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): تَكُوْنُ فِتْنَةٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيْهَا مُؤْمِنًا وَ يُمْسٍيْ كَافِرًا إِلَّا مَنْ أَجَارَهُ اللهُ تَعَالَى بِالْعِلْمِ.

Diriwayatkan dalam suatu hadits dari Abū Umāmah r.h., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Akan ada fitnah di akhir zaman, di pagi hari orang berstatus mu’min dan sorenya sudah menjadi kafir, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan ilmu.” (316).

Catatan:

  1. 26). Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin Mahrān al-Asfarayinī (w. 418 H/1027 M). Baca, az-Zirikla, al-A‘lam, 1/61.
  2. 27). Penalaran bukan syarat sah iman, namun hanya merupakan syarat keluar dari dosa karena tidak melakukannya. Baca, Muḥammad ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasūqī ‘alā Umm-il-Barāhīn (Singapura-Jeddah-Indonesia: al-Haramain, tth.) 62.
  3. 28). Seperti dikatakan kepadanya: “Alam itu bersifat hadits, dan setiap hal yang hadits pasti ada penciptanya”, dan ditunjukkan dilālah-nya kepadanya sampai ia menemukan natījah-nya. Ibid., 64.
  4. 29). Umat-ul-Ijābah adalah umat yang memenuhi seruan Allah dan Rasūl-Nya, dan beriman secara nyata; sedangkan umat-ud-da‘wah adalah semua umat yang Allah perintahkan Rasūl-Nya untuk mengajak mereka masuk Islam. Asy-Sya‘rawī, Tafsīr-usy-Sya‘rawī(ttp.: al-Azhar, 1961), IV/2466.
  5. 30). Yaitu hadits:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): أَهْلُ الْجَنَّةِ عِشْرُوْنَ وَ مِائَةُ صَفٍّ. ثَمَانُوْنَ مِنْهَا مِنْ هذِهِ الْأُمَّةِ، وَ أَرْبَعُوْنَ مِنْ سَائِرِ الْأُمَمِ. (رواه الترمذي، حسن).

    “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Penghuni surga ada 120 baris. 80 barisnya dari umatku ini, dan 40 barisnya dari umat selainnya.” (H.R. at-Tirmidzi, hasan).

  6. 31). H.R. at-Thabrānī. Baca Sulaimān bin Aḥmad ath-Thabrānī, Musnad asy-Syāmiyyīn (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405 H/1984 M), II/227.

2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: 2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  1. 1.2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  2. 2.Anda Sedang Membaca: 2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

وَ بِالْجُمْلَةِ فَالْاِحْتِيَاطُ فِي الْأُمُوْرِ هُوَ أَحْسَنُ مَا يَسْلُكُهُ الْعَاقِلُ، لَا سِيَّمَا فِيْ هذَا الْأَمْرِ الَّذِيْ هُوَ رَأْسُ الْمَالِ، وَ عَلَيْهِ يَنْبَنِيْ كُلُّ خَيْرٍ، فَكَيْفَ يَرْضَى ذُوْ هِمَّةٍ أَنْ يَرْتَكِبَ مِنْهُ مَا يُكَدِّرُ مَشْرَبَهُ مِنَ التَّقْلِيْدِ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ، وَ يَتْرُكُ الْمَعْرِفَةَ وَ التَّعَلُّمَ لِلنَّظَرِ الصَّحِيْحِ الَّذِيْ يَأْمَنُ مَعَهُ كُلُّ مُخَوِّفٍ، ثُمَّ يَلْتَحِقُ مَعَهُ بِدَرَجَةِ الْعُلَمَاءِ الدَّاخِلِيْنَ فِيْ سَلْكِ قَوْلِهِ تَعَالَى: “شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلهَ إلَّا هُوَ وَ الْمَلَائِكَةُ وَ أُوْلُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ”، الآيَةَ.

Kesimpulannya, hati-hati dalam segala permasalahan merupakan langkah terbaik yang ditempuh orang berakal, apalagi terkait keimanan yang merupakan modal utama manusia, yang di atasnya semua kebaikan dibangun. Bagaimana orang ber-himmah rela menempuh jalan taqlīd yang masih diperselisihkan dan memperkeruh akidahnya, meninggalkan ma‘rifat dan belajar melakukan pemikiran yang benar yang dapat menghindarkannya dari segala kekhawatiran, kemudian dengannya mencapai derajat ulama yang masuk dalam makna firman Allah ta‘ālā: “Allah menjelaskan, sungguh tidak Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Menegakkan Keadilan; Malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan pun mengakuinya…..” (321).

فَلَا يَتَقَاصَرُ عَنْ هذِهِ الرُّتْبَةِ الْمَأْمُوْنَةِ الزَّكِيَّةِ إِلَّا ذُوْ نَفْسٍ سَاقِطَةٍ وَ هِمَّةٍ خَسِيْسَةٍ. لكِنْ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَنْظُرَ أَوَّلًا فِيْمَنْ يُحَقِّقُ لَهُ هذَا الْعِلْمَ وَ يَخْتَارُهُ لِلصُّحْبَةِ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْمُؤَيَّدِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِنُوْرِ الْبَصِيْرَةِ، الزَّاهِدِيْنَ بَقُلُوْبِهِمْ فِيْ هذَا الْعُرْضِ الْحَاضِرِ، الْمُشْفِقِيْنَ عَلَى الْمَسَاكِيْنِ، الرُّؤَفَاءُ عَلَى ضُعَفَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ.

Tidaklah mencukupkan diri jauh dari derajat yang aman dan suci ini kecuali orang yang berjiwa rendah dan ber-himmah hina. Namun demikian, pertama kali wajib bagi orang berakal untuk mempertimbangkan orang yang mengajarinya secara benar ilmu akidah keimanan ini, dan memilihnya untuk dijadikan guru, dari para imam yang oleh Allah dikokohkan dengan cahaya hati, yang zuhud dengan hatinya dari dunia yang ada ini, yang penuh belas kasihan kepada orang-orang mu’min ilmu, dan orang-orang mu’min yang lemah pemahamannya.

فَمَنْ وَجَدَ أَحَدًا عَلَى هذِهِ الصِّفَةِ فِي هذَا الزَّمَانِ الْقَلِيْلِ الْخَيْرَ جِدًّا، فَلْيَشُدَّ يَدَهُ عَلَيْهِ، وَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَجِدُ لَهُ، وَ اللهُ أَعْلَمُ، ثَانِيًا فِيْ عَصْرِهِ، إِذْ مَنْ يَكُوْنُ عَلَى هذِهِ الصِّفَةِ أَوْ قَرِيْبًا مِنْهَا، لَا يَكُوْنُ مِنْهُمْ فِيْ أَوَاخِرِ الزَّمَانِ إِلَّا الْوَاحِدُ وَ مَنْ يَقْرُبُ مِنْهُ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ.

Orang yang menemukan guru semacam itu pada zaman yang sedikit sekali kebaikannya ini, hendaklah selalu mengikutinya. Ketahuilah, sungguh ia tidak akan menemukannya lagi – wallāhu a‘lam – untuk kedua kalinya pada masanya. Sebab, orang yang mempunyai sifat seperti itu atau yang mendekatinya (yang secara terang-terangan mengajarkan ilmu ini), di akhir zaman tidak ada kecuali seorang saja, dan orang yang mendekatinya, sesuai penjelasan ulama.

ثُمَّ الْغَالِبُ عَلَيْهِ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الْخَفَاءُ، بِحَيْثُ لَا يُرْشَدُ إِلَيْهِ إِلَّا قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ. وَلْيَشْكُرِ اللهَ سُبْحَانَهُ الَّذِيْ أَطْلَعَهُ عَلَى هذِهِ الْغَنِيْمَةِ الْعظْمَى آنَاءَ اللَّيْلِ وَ أَطْرَافَ النَّهَارِ، إِذْ أَظْفَرَهُ مَوْلَاهُ الْكَرِيْمُ جَلَّ وَ عَزَّ بِمَحْضِ فَضْلِهِ بِكَنْزٍ عَظِيْمٍ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ، يُنْفِقُ مِنْهُ مَا شَاءَ وَ كَيْفَ شَاءَ، وَ قَلِيْلٌ أَنْ يُنْفِقَ الْيَوْمَ وُجُوْدَ مِثْلِ هذَا إِلَّا نَادِرٌ مِنَ السُّعَدَاءِ.

Pada umumnya di zaman ini, orang yang seperti itu samar (sulit ditemukan), sekira tidak ditunjukkan kepadanya kecuali sedikit orang saja. Hendaklah ia bersyukur kepada Allah sepanjang malam dan siang yang telah memperlihatkannya atas kesuksesan besar ini. Sebab Allah Yang Maha Pemurah – jalla wa ‘azza – dengan kemurnian anugerah-Nya telah memberinya kesuksesan mendapat kekayaan surga yang sangat besar (guru dengan sifat-sifat yang telah disebutkan) yang dapat menjadi sumber belajar dan dengan cara bagaimanapun yang dikehendakinya ia belajar kepadanya. Sedikit sekali orang yang dapat belajar kepada guru semacam ini pada masa sekarang ini kecuali orang beruntung yang langka.

وَ أَمَّا مَنْ يَقْرَأُ هذَا الْعِلْمَ عَلَى مَنْ يَتَعَاطَى لَهُ وَ لَيْسَ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِيْ ذَكَرْنَاهَا فَمَفَاسِدُ صُخْبَةِ هذَا دُنْيًا وَ أُخْرَى أَكْثَرُ مِنْ مَصَالِحِهَا، وَ مَا أَكْثَرُ وُجُوْدِ مِثْلِ هؤُلَاءِ فِيْ زَمَانِنَا فِيْ كُلِّ مَوْضِعٍ، نَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى السَّلَامَةَ مِنْ شَرِّ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ (ص).

Adapun orang yang membacakan ilmu akidah ini kepada orang yang meminta kepadanya sementara ia tidak mempunyai sifat-sifat yang telah aku sebutkan, maka mafsadah menjadi muridnya di dunia dan akhirat lebih banyak daripada kemaslahatannya. Sangat banyak orang-orang seperti itu di zaman kita di setiap tempat. Aku memohon keselamatan kepada Allah ta‘ālā dengan derajat Sayyidinā Muḥammad s.a.w. dari keburukan diriku dan keburukan setiap orang yang mempunyai keburukan.

وَلْيَحْذَرِ الْمُبْتَدِئُ جُهْدَهُ أَنْ يَأْخُذَ أُصُوْلَ دِيْنِهِ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِيْ حُشِيَتْ بِكَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ، وَ أُوْلِعَ مُؤَلِّفُوْهَا بِنَقْلِ هَوْسِهِمْ، وَ مَا هُوَ كُفْرٌ صُرَّاحٌ مِنْ عَقَائِدِهِمْ الَّتِيْ سَتَرُوْا نَجَاسَتَهَا بِمَا يَنْبَهِمُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنِ اصْطِلَاحَاتِهِمْ وَ عِبَارَاتِهِمُ الَّتِيْ أَكْثَرُهَا أَسْمَاءُ بِلَا مُسَمَّيَاتٍ، وَ ذلِكَ كَكُتُبِ الْإِمَامِ الْفَخْرِ فِيْ عِلْمِ الْكَلَامِ، وَ طَوَالِعِ الْبَيْضَاوِيْ، وَ مَنْ حَذَا حَذْوَهُمَا فِيْ ذلِكَ.

Hendaklah pelajar pemula menghindarkan kemampuannya untuk belajar ushūl-ud-dīn-nya dari kitab-kitab yang dipenuhi pendapat-pendapat kaum filosuf, para penulisnya menggantungkan diri dengan mengutip kegilaan mereka yang merupakan kekufuran nyata, yaitu akidah-akidah yang kenajisannya mereka tutupi dengan berbagai istilah dan ungkapan yang samar yang mayoritas hanya merupakan nama tanpa substansi, seperti kitab-kitab karya al-Imām al-Fakhr ar-Rāzī tentang kalām, kitab Thawāli‘ karya al-Baidhāwī, dan orang-orang yang menempuh metode mereka dalam ilmu kalam. (332)

وَ قَلَّ أَنْ يُفْلِحَ مَنْ أَوْلَعَ بِصُحْبَةِ كَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ أَوْ يَكُوْنَ لَهُ نُوْرُ إِيْمَانٍ فِيْ قَلْبِهِ أَوْ لِسَانِهِ. وَ كَيْفَ يُفْلِحُ مَنْ وَالَى مَنْ حَادَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ خَرَقَ حِجَابِ الْهَيْبَةِ وَ نَبَذَ الشَّرِيْعَةَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَ قَالَ فِيْ حَقّ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ وَ فِيْ حَقِّ رُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ مَا سَوَّلَتْ لَهُ نَفْسُهُ الْحَمْقَاءُ، وَ دَعَاهُ إِلَيْهِ وَهْمُهُ الْمُخْتَلُّ.

Jarang sekali beruntung orang yang menggantungkan diri dengan menekuni kalam para filosuf, atau mendapatkan cahaya keimanan di hati atau lisannya. Bagaimana beruntung orang yang mengasihi orang yang memusuhi Allah dan Rasūl-Nya, membakar haibah Allah yang laksana hijab, membuang syariat di belakang punggungnya, dan berkata bagi Allah – jalla wa ‘azza – dan para Rasūl-Nya ‘alaihim-ush-shālatu was-salām – dengan perkataan yang dihiaskan oleh dirinya yang bodoh dan diajak oleh persangkaannya yang rusak.

وَ لَقَدْ خَذَلَ بَعْضُ النَّاسِ فَتَرَاهُ يُشْرِفُ كَلاَمَ الْفَلَاسِفَةِ الْمَلْعُوْنِيْنَ، وَ يُشْرِفُ الْكُتُيَ الَّتِيْ تُعَرِّضَتْ لِنَقْلِ كَثِيْرٍ مِنْ حَمَاقَاتِهِمْ لِمَا تَمَكَّنَ فِيْ نَفْسِهِ الْأَمَّارَةُ بِالسُّوْءِ مِنْ حُبِّ الرِّيَاسَةِ و حُبُّ الْإِغْرَابِ عَلَى النَّاسِ بِمَا يَنْبَهِمُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنْهُمُ مِنْ عِبَارَاتٍ وَ اصْطِلَاحَاتٍ يُوْهِمُهُمْ أَنَّ تَحْتَهَا عُلُوْمًا دَقِيْقَةً نَفِيْسَةً، وَ لَيْسَ تَحْتَهَا إِلَّا التَّخْلِيْطُ وَ الْهَوْسُ وَ الْكُفْرُ الَّذِيْ لَا يَرْضَى أَنْ يَقُوْلَهُ عَاقِلٌ.

Sungguh sebagian orang telah terlalaikan, sehingga anda lihat ia memuliakan kalām kaum filosuf terlaknat, memuliakan kitab-kitab yang ditulis untuk mengutip berbagai kebodohan mereka karena cinta pangkat dan keunikan menggungguli orang lain dengan berbagai ungkapan dan istilah yang samar bagi kebanyakan orang, yang mengesankan bagi mereka bahwa di bawahnya terdapat ilmu-ilmu yang mendalam dan bagus, padahal kenyataannya hanya pencampuradukkan, kegilaan, dan kekufuran yang orang berakal tidak sudi mengucapkannya.

وَ رُبَّمَا يُؤْثِرُ بَعْضُ الْحَمْقَى هَوْسَهُمْ عَلَى الْاِشْتِغَالِ بِمَا يُعِيْنُهُ مِنَ التَّفَقُّهِ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنَ وَ فُرُوْعِهِ عَلَى طَرِيْقِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَ الْعَمَلُ بِذلِكَ، وَ يَرَى هذَا الْخَبِيْثَ لِانْطِمَاسِ بَصِيْرتِهِ وَ طَرْدِهِ عَنْ بَابِ فَضْلِ اللهِ تَعَالَى إِلَى بَابِ غَضَبهِ أَنَّ الْمُسْتَغِلِيْنَ بِالتَّفَقُّهِ فِيْ دِيْنِ اللهِ تَعَالَى الْعَظِيْمِ الْفَوَائِدِ دُنْيًا وَ أُخْرًا بَلَدَاءَ الطَّبْعِ نَاقِصُو الذُّكَاء.

Terkadang sebagian orang bodoh memprioritaskan mempelajari kegilaan kaum filosuf daripada menyibukkan diri dengan mempelajari ushūl dan furū‘-ud-dīn sesuai metode kaum as-Salaf ash-Shāliḥ dan mengamalkannya, yang bermanfaat baginya. Karena terhapusnya mata hati dan terlemparnya dari pintu anugerah Allah ta‘ālā ke pintu murka-Nya. Orang bodoh yang keji ini menganggap orang-orang yang fokus memelajari agama Allah ta‘ālā yang besar manfaatnya di dunia dan akhirat, sebagai orang-orang berwatak bodoh dan kurang cerdas.

فَمَا أَجْهَلَ هذَا الْخَبِيْثَ وَ أَقْبَحَ سَرِيْرَتُهُ وَ أَعْمَى قَلْبَهُ حَتَّى رَأَى الظُّلْمَةَ نُوْرًا وَ النُّوْرَ ظُلْمَةً. وَ مَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا، أولئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ، لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ، سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُوْنَ لِلسُّحْتِ…..

Sungguhnya bodoh, sungguh keji dan sungguh buta hatinya, sampai ia melihat kegelapan sebagai cahaya dan melihat cahaya sebagai kegelapan. Orang yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu (Muḥammad s.a.w.) tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hatinya. Bagi mereka kehinaan di dunia dan akhirat. Bagi mereka siksaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta haram….. (343).

نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ يُعَامِلَنَا وَ يُعَامِلَ جَمِيْعَ أَحِبَّتِنَا إِلَى الْمَمَاتِ بِمَحْضِ فَضْلِهِ، وَ أَنْ يَلْطَفَ بِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَ يَقِيْهِمْ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الصَّعْبِ مَوَارِدَ الْفِتَنِ بِجُوْدِهِ وَ كَرَمِهِ بِجَاهِ أَشْرَفِ الْخَلْقِ سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ (ص).

Aku memohon kepada Allah s.w.t. agar Ia menjagaku dan orang-orang yang mencintaiku sampai mati dengan kemurnian anugerahnya, dan agar mengasihi semua mu’minin, dan menjaga mereka di zaman yang penuh kesulitan ini dari datangnya berbagai fitnah, dengan kemurahan dan kedermawanan-Nya, dengan lantaran derajat manusia termulia, Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w.

Catatan:

  1. 32). QS. Āli ‘Imrān: 18.
  2. 33). Merujuk al-Burhān al-Laqqānī dalam Hidāyat-ul-Murīd sebagaimana kutipan al-Bajūrī, pada mulanya dahulu ulama mencukupkan diri dengan pembahasan dzat, shifat, kenabian, dan sam‘iyyat. Lalu muncul berbagai sekte ahli bid‘ah yang sering mendebat dan melempar propaganda yang bercampur kaidah-kaidah filsafat terhadap ulama. Di kemudian hari, hal ini menuntut ulama pada masa berikutnya seperti al-Fakhr-ur-Rāzī, al-Baidhāwī, as-Sa‘d, al-‘Adhad, dan Ibn ‘Irfah untuk memasukkan materi-materi filsafat pada kitab-kitab kalām mereka untuk menghadapi, meruntuhkan, menjelaskan kesalahan, dan menjelaskan bahwa propaganda kaum filosuf, sehingga peringatan agar menghindari kitab-kitab mereka hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu memahaminya. Ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasyūqī, 71.
  3. 34). QS. Al-Mā’idah: 41-42.

3-1 Sifat Wajib Bagi Allah – Wujud – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

3-1 Sifat Wajib Bagi Allah – Wujud – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: 003 Sifat Wajib Bagi Allah – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  1. 1.Anda Sedang Membaca: 3-1 Sifat Wajib Bagi Allah – Wujud – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  2. 2.3-2 Sifat Wajib Bagi Allah – Qidam – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  3. 3.3-3 Sifat Wajib Bagi Allah – Baqa’ – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
  4. 4.3-4 Sifat Wajib Bagi Allah – Mukhalafah lil-Hawadits – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

Sifat Wajib bagi Allah

 

[صــــ] (فِمَّا يَجِبُ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ عِشْرُوْنَ صِفَةً)

Di antara yang wajib dimiliki Allah – jalla wa ‘azza – adalah 20 sifat.

 

Syarḥ:

[شــــ] أَشَارَ بِمَنِ التَّبْعِيْضِيَّةِ إِلَى أَنَّ صِفَاتِ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ الْوَاجِبَةَ لَهُ لَا تَنْحَصِرُ – فِيْ هذِهِ الْعِشْرُوْنَ، إِذْ كَمَلَاتُهُ تَعَالَى لَا نِهَايَةَ لَهَا، لَكِنِ الْعَجْزُ عَنْ مَعْرِفَةِ مَا لَمْ يَنْصُبْ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ وَ لَا نَقْلِيٌّ لَا نُؤَاخَذُ بِهِ بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى.

Kitab Asal berisyarat dengan huruf (مِنْtab‘idhiyyah untuk menunjukkan, bahwa sifat-sifat Allah – jalla wa ‘azza – tidak terbatas pada 20 sifat ini, sebab kesempurnaan-Nya tidak terbatas, namun ketidakmampuan mengetahui sifat-sifat yang tidak terjelaskan oleh dalil ‘aqli dan naqli membuat kita tidak disiksa karenanya, berkat angerah Allah ta‘ālā.

1. Wujūd.

[صـــ] (وَ هِيَ الْوُجُوْدُ)

Yaitu (1). Wujūd.

 

Syarḥ.

[شــــ] مَعْنَاهُ ظَاهِرٌ، وَ فِيْ عَدِّ الْوُجُوْدِ صِفَةً عَلَى مَذْهَبِ الشَّيْخِ الْأَشْعَرِيِّ تَسَامُحٌ، لِأَنَّهُ عِنْدَهُ عَيْنُ الذَّاتِ وَ لَيْسَ بِزَائِدٍ عَلَيْهَا، وَ الذَّاتُ لَيْسَتْ بِصِفَةٍ، لَكِنْ لَمَّا كَانَ الْوُجُوْدُ تُوْصَفُ بِهِ الذَّاتُ فِي اللَّفْظِ فَيُقَالُ ذَاتُ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ مَوْجُوْدَةٌ، صَحَّ أَنْ يُعَدَّ صِفَةً عَلَى الْجُمْلَةِ.

Maknanya jelas, namun dalam menghitung wujūd sebagai suatu sifat berdasarkan madzhab asy-Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī merupakan tasāmuḥ (majaz). Sebab menurutnya, wujūd merupakan Dzāt Allah itu sendiri, bukan selainnya, dan Dzāt Allah bukanlah suatu sifat. Namun ketika dalam pelafalan wujūd dijadikan sifat bagi Dzāt Allah, dan dikatakan: “Dzāt Allah – jalla wa ‘azza – itu maujūd”, maka secara umum wujūd sah dihitung sebagai suatu sifat.

وَ أَمَّا عَلَى مَذْهَبِ مَنْ جَعَلَ الْوُجُوْدَ زَائِدًا عَلَى الذَّاتِ كَالْإِمَامِ الرَّازِيِّ فَعُدُّهُ مِنَ الصِّفَاتِ صَحِيْحٌ لَا تَسَامُحَ فِيْهِ.

Adapun menurut madzhab ulama yang menjadikan wujūd sebagai sesuatu yang bukan Dzāt Allah, sebagaimana Imām ar-Rāzī, maka menghitungnya sebagai bagian dari sifat-sifat Allah adalah benar dan tidak ada tasāmuḥ di dalamnya.

وَ مِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهُ زَائِدًا عَلَى الذَّاتِ فِي الْحَادِثِ دُوْنَ الْقَدِيْمِ، وَ هُوَ مَذْهَبُ الْفَلَاسِفَةِ.

Sebagian ulama ada yang menjadikan wujūd sebagai sesuatu yang bukan Dzāt Allah pada masa ḥādits, bukan masa qadīm. Ini madzhab kaum filosuf.

2. Qidam.

[صـــ] (وَ الْقِدَمُ)

(2). Qidam.

 

Syarḥ.

[شــــ] الْأَصَحُّ أَنَّ الْقِدَمَ صِفَةٌ سَلْبِيَّةٌ، أَيْ لَيْسَتْ بِمَعْنَى مَوْجُوْدٍ فِيْ نَفْسِهَا كَالْعِلْمِ مَثَلًا، وَ إِنَّمَا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ سَلْبِ الْعَدَمِ السَّابِقِ عَلَى الْوُجُوْدِ، وَ إِنْ شِئْتَ قُلْتَ: هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ عَدَمِ افْتِتَاحِ الْوُجُوْدِ، وَ الْعِبَارَاتُ الثَّلَاثُ بِمَعْنَى وَاحِدٍ.

Pendapat al-Ashaḥḥ menyatakan, bahwa qidam adalah sifat salbiyyah. Maksudnya tidak ada makna yang maujūdpadanya, seperti sifat ilmu misalnya. Qidam hanya merupakan ungkapan untuk menafikan sifat ‘adam (tiada) yang mendahului wujūd. Bila mau anda dapat mengatakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya permulaan bagi wujud Allah.” Bila pula anda katakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya pembukaan wujud.” Ketiga ungkapan tersebut satu makna.

هذَا مَعْنَى الْقِدَمِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى بِاعْتِبَارِ ذَاتِهِ الْعَلِيَّةِ وَ صِفَاتِهِ الْجَلِيْلَةِ السُّنِّيَّةِ.

Inilah makna qidam bagi Allah ta‘ālā dengan mempertimbangkan Dzāt-Nya Yang Maha Tinggi dan Sifat-sifatNya Yang Maha Agung dan Maha Luhur.

وَ أَمَّا مَعْنَاهُ إِذَا أُطْلِقَ فِيْ حَقِّ الْحَادِثِ كَمَا إِذَا قُلْتَ مَثَلًا: “هذَا بِنَاءٌ قَدِيْمٌ، وَ عُرْجُوْنٌ قَدِيْمٌ”، فَهُوَ عِبَارَةٌ عَنْ طُوْلِ مُدَّةِ وُجُوْدِهِ، وَ إِنْ كَانَ حَادِثًا مَسْبُوْقًا بِالْعَدَمِ كَمَا فِيْ قُوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّكَ لَفِيْ ضَلَالِكَ الْقدِيْمِ، وَ قَوْلِهِ تَعَالَى: كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ”.

Adapun maknanya ketika diucapkan untuk sesuatu yang ḥādits, sebagaimana saat anda berkata misalnya: “Ini adalah bangunan yang qadīm, dan tandan yang qadīm”, maka qadīm merupakan ungkapan dari lamanya waktu wujūd-nya dalam kondisi bila sesuatu itu bersifat ḥādits dan didahului oleh ketiadaan, sebagaimana dalam firman Allah ta‘ālā: “Sungguh kamu niscaya dalam kesesatanmu yang lama”, dan firman Allah: “Seperti tandan yang tua.”

وَ الْقِدَمُ بِهذَا الْمَعْنَى عَلَى اللهِ تَعَالَى مُحَالٌ، لِأَنَّ وُجُوْدَهُ جَلَّ وَ عَزَّ لَا يُتَقَيَّدُ بِزَمَانٍ وَ لَا مَكَانٍ لِحُدُوْثِ كُلٍّ مِنْهُمَا، فَلَا يُتَقَيَّدُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَّا مَا هُوَ حَادِثٌ مِثْلُهَا.

Qidam dengan makna semacam ini mustahil bagi Allah ta‘ālā, sebab wujūd-Nya – jalla wa ‘azza – tidak terbatasi dengan zaman dan tempat karena sifat ḥudūts keduanya. Sebab itu, tidak terbatasi dengan keduanya kecuali sesuatu yang ḥādits yang sama dengannya.

 

وَ هَلْ يَجُوْزُ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِلَفْظِ الْقَدِيْمِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى، فَيُقَالُ هُوَ جَلَّ وَ عَزَّ قَدِيْمٌ، لِأَنَّ مَعْنَاهُ وَاجِبٌ لَهُ جَلَّ وَ عَزَّ عَقْلًا وَ نَقْلًا، أَوْ لَا يَتَلَفَّظُ بِذلِكَ.

Apakah boleh melafalkan kata qadim bagi Allah ta‘ālā, sehingga dikatakan Allah – jalla wa ‘azza – adalah Dzāt Yang Qadim, karena maknanya adalah wajib bagi-Nya – jalla wa ‘azza – secara akal dan naql, atau tidak boleh melafalkannya?

وَ إِنَّمَا يُقَالُ يَجِبُ لَهُ تَعَالَى الْقِدَمُ أَوْ نَحْوُ هذَا مِنَ الْعِبَارَات، وَ لَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ فِي اللَّفْظِ اسْمُ الْقَدِيْمِ، لِأَنَّ أَسْمَاءَهُ جَلَّ وَ عَزَّ تَوْقِيْفِيَّةٌ؟

Yang boleh diucapkan hanya: “Wajib bagi Allah ta‘ālā sifat qidam?”, atau ungkapan semisalnya; dan tidak boleh diucapkan bagi-Nya nama al-Qadīm, sebab Asmā’ Allah – jalla wa ‘azza – bersifat tauqīfī.

هذَا مِمَّا يَتَرَدَّدُ فِيْهِ بَعْضُ الْأَشْيَاخِ، لكِنْ قَالَ الْعِرَاقِيُّ فِيْ شَرْحِ أُصُوْلِ السُّبْكِيِّ: عَدَّهُ الْحَلِيْمِيِّ فِي الْأَسْمَاءِ، وَ قَالَ: لَمْ يَرِدْ فِي الْكِتَابِ نَصًّا، وَ إِنَّمَا وَرَدَ فِي السَّنَّةِ، قَالَ الْعِرَاقِيُّ: وَ أَشَارَ بِذلِكَ إِلَى مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهٍ فِيْ سُنَنِهِ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) وَ فِيْهِ عَدُّ الْقَدِيْمِ مِنَ التِّسْعَةِ وَ التِّسْعِيْنَ.

Ini termasuk permasalahan yang diperselisihkan oleh sebagian para Masyā’ikh. Namun dalam Syarḥu Ushūl-is-Subkī, al-‘Irāqī mengatakan: “Al-Ḥalīmī menyebut al-Qadīm dalam Asmā’ Allah, dan ia berkata: “Al-Qadīm tidak ada nashnya dalam al-Qur’ān, hanya ada dalam as-Sunnah.” Imām al-‘Irāqī mengatakan: “Dengan ungkapan itu al-Ḥalīmī memberi isyarat pada hadits riwayat Ibn Mājah dalam Sunan-nya dari hadits Abū Hurairah r.a., yang di dalamnya terdapat penyebutan nama al-Qadīm dari 99 Asmā’ Allah.”

4. Mukhālafah lil-Ḥawādits.

[صـــ] (وَ مُخَالَفَتُهُ تَعَالَى لِلْحَوَادِثِ)

(4). Mukhālafah lil-Ḥawādits. (Berbeda dengan semua makhluk).

 

Syarḥ.

[شــــ] أَيْ لَا يُمَاثِلُهُ تَعَالَى شَيْءٌ مِنْهَا مُطْلَقًا، لَا فِي الذَاتِ وَ لَا فِي الصِّفَاتِ وَ لَا فِي الْأَفْعَالِ.

Maksudnya tidak ada satupun makhluk yang menyamai Allah ta‘ālā secara mutlak, tidak sama dalam dzāt, shifat, maupun perbuatannya.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ.

Allah ta‘ālā: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (351)

فَأَوَّلُ هذِهِ الْآيَةِ تَنْزِيْهٌ وَ آخِرُهَا إِثْبَاتٌ، فَصَدْرُهَا يَرُدُّ عَلَى الْمُجَسِّمَةِ وَ أَضْرَابِهِمْ، وَ عَجْزُهَا يَرُدُّ عَلَى الْمُعَطِّلَةِ النَّافِيْنَ لِجَمِيْعِ الصِّفَاتِ.

Bagian awal ayat ini merupakan tanzīh (penyucian Allah dari menyerupai makhluk), dan bagian akhirnya menetapkan (sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat bagi Allah). Maka bagian awalnya menolak kaumMujassimah dan berbagai variannya, dan bagian akhirnya menolak kaum Mu‘ththilah yang menafikan seluruh sifat-sifat Allah.

وَ حِكْمَةُ تَقْدِيْمِ التَّنْزِيْهِ فِي الْآيَةِ وَ إِنْ كَانَ مِنْ بَابِ تَقْدِيْمِ السَّلْبِ عَلَى الْإِثْبَاتِ، وَ إِنْ كَانَ الْأَوْلَى فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ الْعَكْسَ، أَنَّهُ لَوْ بَدَأَ بِالسَّمْعِ وَ الْبَصَرِ لَأَوْهَمَ التَّشْبِيْهَ، إِذِ الَّذِيْ يُؤَلَّفُ فِي السَّمْعِ أَنَّهُ بِأُذُنٍ، وَ فِي الْبَصَرِ – أَنَّهُ بِحَدْقَةٍ، وَ أَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا إِنَّمَا يَتَعَلَّقُ فِي الشَّاهِدِ بِبَعْضِ الْمَوْجُوْدَاتِ دُوْنَ بَعْضٍ، وَ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ مِنْ عَدَمِ الْبُعْدِ جِدًّا وَ نَحْوِ ذلِكَ.

Hikmah mendahulukan tanzīh pada ayat tersebut – meskipun termasuk mendahulukan penafian daripada pentetapan, meskipun yang lebih utama dalam beberapa tempat adalah sebaliknya – adalah andaikan al-Qur’ān memulai dengan menyebutkan sifat mendengar dan melihat, niscaya akan mengesankan keserupaan Allah terhadap makhluk. Sebab yang segera dipahami dalam sifat mendengar adalah mendengar dengan telinga, dan dalam sifat melihat adalah melihat dengan bola mata, sementara masing-masing dari keduanya dalam hal yang dapat disaksikan hanya berhubungan dengan sebagian makhluk dan tidak berhubungan dengan yang lainnya; dan hanya pada sifat tertentu seperti tidak adanya jarak yang jauh sekali dan semisalnya.

فَبَدَأَ فِي الْآيَةِ بِالتَّنْزِيْهِ لِيُسْتَفَادَ مِنْهُ نَفْيُ التَّشْبِيْهِ لَهُ تَعَالَى مُطْلَقًا، حَتَّى فِي السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ – اللَّذَيْنِ ذُكِرَا بَعْدُ. فَإِنَّ سَمْعَهُ وَ بَصَرَهُ – لَيْسَا كَسَمْعِ الْخَلَائِقِ وَ بَصَرِهِمْ، لِأَنَّ سَمْعَعُ تَعَالَى وَ بَصَرَهُ صِفَتَانِ قَائِمَتَانِ بِذَاتِهِ الْعَلِيَّةِ الَّتِيْ يَسْتَحِيْلُ عَلَيْهَا الْجِرْمِيَّةُ وَ الْجَارِحَةُ وَ لَوَازِمُهَا، وَاجِبَتَا الْقِدَمِ وَ الْبَقَاءِ مُتَعَلِّقَتَانِ بِكُلِّ مَوْجُوْدٍ قَدِيْمًا كَانَ أَوْ حَادِثًا، ذَاتًا كَانَ أَوْ صِفَةً، ظَاهِرًا كَانَ أَوْ بَاطِنًا.

Maka dalam al-Qur’ān memulai dengan penyebutan tanzīh agar darinya dipahami penafian keserupaan Allah ta‘ālādengan makhluk secara mutlak, sampai pada sifat mendengar dan melihat yang disebutkan setelahnya. Sebab mendengar dan melihatnya Allah tidak seperti mendengar dan melihatnya makhluk, karena mendengar dan melihatnya Allah ta‘ālā merupakan sifat yang ada pada Dzāt-Nya Yang Maha Luhur yang mustahil ada unsur fisik, anggota tubuh, dan berbagai kelazimannya, yang wajib (pasti) qidam dan baqā’, yang berhubungan dengan setiap wujūd yang bersifat qadīm maupun ḥādits, yang berupa dzāt maupun sifat; dan lahir maupun batin.

Catatan:

  1. 35). QS. Asy-Syūrā: 11.